Faktor penyebab prasangka
FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA PRASANGKA
Secara umum terdapat 2 faktor yang menjadi sebab timbulnya prasangka, yakni faktor sosial dan faktor individual. Beberapa situasi sosial yang bisa memunculkan prasangka setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni akibat konflik sosial antar individu dan antarkelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.
Selain situasi sosial di atas, ada peranan faktor individual dalam memunculkan prasangka. Beberapa hal pada diri seseorang yang bisa menyebabkan prasangka adalah cara berpikir, kepribadian, dan pengaruh belajar sosial. Masing-masing memberikan sumbangan bagi kemunculan prasangka pada diri seseorang.
1. FAKTOR INDIVIDUAL
Ada beberapa yang membuat seorang individu bisa berprasangka yakni adanya proses kognitif tertentu, adanya pengaruh belajar sosial, dan adanya tipe kepribadian tertentu. Berikut penjelasannya masing-masing.
Faktor Kognitif Penyebab Prasangka
Terdapat 2 cara berpikir mendasar dalam diri manusia yang bisa menyebabkan terjadinya prasangka, yakni kategorisasi dan atribusi. Masing-masing terbukti menjadi landasan bagi terbentuknya prasangka.
a. Kategorisasi.
Mula-mula individu akan menggolongkannya berdasarkan jenis kelamin. Ia laki-laki atau perempuan. Lalu mengkategorisasikannya berdasar umur, ia tua, setengah tua atau muda. Kemudian berdasarkan penampakan fisik, cantik, kurang cantik atau jelek. Lalu berdasarkan tinggi badan, ia pendek, tinggi atau sedang. Kemudian berdasarkan panjang rambut, berambut panjang, sebahu, atau pendek. Begitu seterusnya.
Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Stereotip kelompok (ciri yang dianggap ada pada kelompok tertentu) muncul karena adanya proses berpikir kategorisasi.
Kategorisasi bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam agama, gayahidup, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda.
Kategorisasi memiliki dua efek mendasar, yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan. Perbedaan itupun sering di ungkapkan. Sementara itu, kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Misalnya, individu cenderung menganggap bahwa perbedaan antara 2 pemeluk agama sangatlah besar. Sebaliknya menganggap sesama pemeluk agama sangatlah mirip (padahal setiap agama juga memiliki sekte-sekte yang berbeda satu sama lainnya).
Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah diantara anggota-anggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih berada dalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial. Karena hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain, halmana sangat potensial menyebabkan prasangka.
Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibanggakan untuk meningkatkan harga diri. Sementara itu disaat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, dan inferior. Keadaan seperti itu, baik terbuka ataupun tidak, melahirkan prasangka.
b. Atribusi.
Proses kognitif lain yang berperan dalam membentuk prasangka adalah atribusi, yakni upaya menerangkan sebab dari tingkah laku seseorang. Biasanya, pada saat seseorang mengalami kesenangan dan keberhasilan, maka mereka menilai bahwa penyebab utama adalah diri sendiri. Orang lain yang mendukung adalah faktor tambahan belaka. Sebaliknya, pada saat seseorang mengalami situasi yang buruk atau tidak menyenangkan, maka sumber penyebabnya dicari dari pihak lain. Nah, pada situasi yang buruk inilah, seseorang akan berupaya mencari pihak yang bisa disalahkan.
Upaya mencari seseorang untuk disalahkan atas situasi yang buruk membuat seseorang lebih berprasangka pada yang lain. Misalnya para pengungsi yang mengalami situasi pengungsian yang buruk akan lebih berprasangka. Mereka merasa bahwa nasib mereka ditelantarkan oleh pihak-pihak tertentu. Akibatnya pihak-pihak yang dianggap sebagai sumber kesulitan akan diprasangkai.
2. PENGARUH BELAJAR SOSIAL
Prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka.
Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga laindan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis Batak dengan kata-kata “dasar Batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik Batak secara keseluruhan.
Media massa merupakan salah satu alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tergantung pada isi pemberitaan media massa. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.
3. FAKTOR TIPE KEPRIBADIAN
Setidaknya ada 3 tipe kepribadian yang cenderung lebih berprasangka ketimbang yang lain. Pertama, tipe kepribadian otoritarian, yakni pribadi yang sangat menekankan pada kekuasaan otoriter. Kedua, kepribadian dogmatik, yakni pribadi yang sangat kukuh membela suatu keyakinan tertentu. Ketiga, pribadi yang keras hati.
A. Kepribadian Otoritarian
Pada tataran individu, faktor kepribadian otoritarian merupakan faktor pemicu prasangka yang terpenting. Seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian dipastikan mudah berprasangka. Adapun ciri-ciri dari kepribadian otoritarian adalah;
1. Mempersepsi dunia secara bipolar, (foot note )yakni selalu mengkontraskan segala sesuatu dalam dua kutub yang berlawanan; jika tidak hitam pasti putih, jika tidak benar pasti salah, jika tidak baik pasti buruk, jika tidak indah pasti jelek dan semacamnya.
2. Tidak mampu toleran terhadap perbedaan.
3. Permusuhan berlebihan terhadap seseorang yang belum nyata anggota sebuah kelompok.
4. Hormat berlebihan dan memiliki kebutuhan kuat untuk mengidentifikasikan diri pada figur otoritarian.
5. Tidak dapat mempercayai orang lain.
6. Merasa lemah katimbang kelompok lain.
7. Etnosentrik. Mereka mengira bahwa kelompok mereka sendirilah yang paling baik.
B. Kepribadian Dogmatik.
Tipe kepribadian dogmatik juga merupakan salah satu tipe kepribadian yang memiliki kecenderungan kuat untuk berprasangka. Orang-orang dengan kepribadian dogmatik memiliki pola pemikiran yang sempit (closed-mind). Mereka sangat mempercayai sistem yang anti terhadap perubahan informasi dan ditandai penggunaan daya tarik atau kekuatan wewenang untuk menjustifikasi apa yang mereka kira benar. Jadi, jika berkuasa, maka ia akan berusaha dengan seluruh kekuasaannya untuk menolak ide-ide baru.
Dogmatisme memproposisikan bahwa orang yang dogmatik lebih banyak melakukan penolakan terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya daripada ia menolak orang lain karena identitas kelompok (ras, etnik) mereka. Jika seseorang yang membawa ide baru adalah orang berbeda agama dan ideologi, lebih besar peluang ditolak daripada mereka yang berbeda etnik.
Secara umum orang dengan kepribadian dogmatik ini sangat konvensional. Mereka menentang setiap upaya perubahan yang terjadi jikamengakibatkan perubahan mendasar terhadap apa yang telah lama diyakininya. Mereka tidak segan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membenarkan apa yang diyakininya. Pada titik ekstrim, orang dengan kepribadian dogmatik ini menganggap hanya yang diyakinilah yang benar.
C. Pribadi yang Keras Hati.
Jenis kepribadian lain yang mudah menderita prasangka adalah orang yang memiliki kepribadian yang keras hati atau cenderung kaku. Mereka yang keras hati ini lebih mampu memahami adanya ekstremitas, misalnya membenarkan terorisme. Mereka kurang terpengaruh keluarga dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihan politik. Karakteristik orang berprasangka secara umum bermental kaku (rigidity), dan memiliki infleksibilitas pikiran.
Pekanbaru, 09 July 2011 by Puja K.
Dibaca: 724