Duck hunt

Adikku Memakai Sepatu

Dia tampak kesulitan saat mencoba memakai kaus kaki sendiri dan ternyata harus melepasnya kembali karena hasilnya kaus kaki itu terbalik. Posisi yang seharusnya di tumit, berada di tempat sebaliknya dan rupanya dia tau bahwa itu salah dan tak nyaman dirasa. Ini cerita saat Ayah, Ibu serta adikku yang paling bontot mengunjungiku di kota tempatku bersekolah beberapa hari lalu. "itu tadi salah pasang Rahul." ucapku padanya yang baru berusia empat tahun. "iya Kang.." ucapnya polos. Lantas kupasangkan itu kaus kaki dan saat hendak memasang di kaki lainnya, ia mengusap pasir yang menempel di telapak kakinya terlebih dahulu. "Luar biasa !!" batinku. "apanya yang luar biasa?" tanyamu barangkali. Ya, barangkali terlalu berlebihan memang jika kata itu kusematkan kepada hal seremeh-temeh memakai sepatu itu. Tetapi, betapa aku harus jujur mengatakan bahwa ini luar biasa karena berpikir "siapa yang mengajari mengusap pasir itu? Mengajari memasang kaus kaki dan memakai sepatu itu?" siapa? Siapa yang memberitahu bagaimana memakai sepatu yang benar? Yang membimbing kepada hal sekecil itu? "Ibu".

Kecil memang, remeh memang dan tak berarti mungkin, karena masing-masing kita lupa kapan tepatnya bisa melakukan itu. Bayangkan jika saja dahulu Ibu tak pernah mengajarkan itu dengan sabar, barangkali di dunia ini sudah jauh-jauh hari pula ramai dibuka "kursus memakai sepatu" karena kita tak pernah tahu bagaimana caranya. Boleh saja kau tertawa dengan "kursus memakai sepatu" ini, tapi apa jadinya ketika kita sudah berpakaian rapi, berdasi, berjas, berkaca mata pula serta menenteng kopor dengan gagah hendak berangkat kerja namun ternyata sepatu kita tertukar dengan sengaja antara kiri dengan kanan dan parahnya kita tetap ngotot bahwa itu memang benar. "udah sinting ya?" ejek ayam.

Untukku sendiri, entah berapa banyak sudah hal yang diberikan oleh ibu sedari orok. Terlalu banyak yang tak tau dan terkadang baru benar-benar tau karena melihat adikku. Saat melihat adikku kumat kenakalannya, saat itu pula aku merasa harus membayangkan dan pura-pura tau tentang kenakalanku dahulu. Ketika adikku terus-menerus menangis tanpa bisa dihentikan, ketika itu pula aku coba menerka seperti apa tangisku dulu dan betapa merepotkannya aku. Kala tengah malam adikku terbangun mengompol dan seenaknya sendiri menangis, kala itu juga aku merasa wajib mengarang betapa menjengkelkannya aku disaat serupa dulu. Sungguh, mengurus sesuatu yang namanya bayi itu tidaklah mudah. Terbukti ketika pernah aku menjaga adikku dahulu saat belum bisa ia berjalan, buru-buru aku limpahkan ke ibuku saat ia mulai rewel. Bagaimana tidak, kalau dia sudah rewel dan menangis, betapapun aku sudah berusaha keras dengan berbagai cara untuk menenangkannya, tetapi dia malah tetap asyik saja menangis. Barangkali tak jauh beda denganku dulu.

Begitulah, betapa banyak hal-hal yang teranggap remeh dan kecil dari Ibu, namun ternyata sangat luar biasa sekali. Kalau kita hendak mengukur berapa banyak pemberian kedua orang tua, maka kita tak pernah bisa menemukan seberapa banyaknya itu. Dan untunglah mereka tak mengharap balasan atas pemberian mereka kepada kita berupa materi belaka. Dan kalau saja iya, matilah saja kita. Bapak dan ibu bisa saja terganti, tetapi "Ayah dan Ibu", tak akan pernah kau temui gantinya.

IBU
Oleh: Iwan Fals
"Ribuan kilo jalan yang kau tempuh..
lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah penuh nanah..
Seperti udara kasih yang engkau berikan
tak mampu ku membalas
Ibu..
Ibu..
Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu..
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu..
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku..
dengan apa membalas..
Ibu..
Ibu..

Salam, untuk Ayah-Ibu kita tercinta.
23 Feb 2011, Puja K.

Dibaca: 1205