Langit di Kamarku
Lampu Philips tak begitu besar yang sudah mulai menghitam di bagian atasnya karena usangnya waktu. Lampu ini yang selalu menemani malamku dengan tetap setia menempel di beton atap kamar ini.
Di bagian sudut kamar terhampar kain sarung yang aku lipat sedemikian rupa dan aku alihfungsikan menjadi sajadah. Ya, aku jadikan sarung itu sebagai alas sholatku setelah ubin. Bukan karena tidak ada sajadah, melainkan aku lebih suka memakai kain bermotif kotak kotak ini katimbang sajadah. Ini aku putuskan setelah mengerti bahwa ternyata sajadah itu banyak gambarnya dan gambar-gambar itulah yang justeru kerap membuat mataku mondar-mandir tak menentu sehingga terkadang malah membuatku bengong.
Kalau malam sudah melumat bumi, sepi sekali rasanya karena aku hanya seorang diri mendiami kamar ini. Karena tak ada yang dapat aku ajak bicara sebagai teman, maka acaraku selanjutnya adalah merenung, memutar Mp3 di ponsel, membaca buku, lalu bengong lagi.
Celotehan Iwan Fals menemani telingaku dengan " bongkar-nya" dan beberapa lagu lain dari penyanyi balada gaek ini. Sembari berbaring menatap langit kamar, aku menanti kantuk menghampiriku ini malam.
" Oh inikah namanya daerah maju?" gumamku di hati.
Pagi-pagi begini sudah dibangunkan oleh deru mesin kendaraan tetangga yang hendak berangkat kerja. Apalagi terkadang ada yang gemar mendera kendaraannya untuk menggonggong sedemikian hebat. Kalau sudah siang sedikit di saat musim kemarau, kota ini hampir selalu diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan.
Berbeda sekali dengan desaku, selepas adzan subuh burung-burung liar selalu setia menyanyi di atas pohon sana menyambut pagi. Ayam jantan tak pernah lupa berkokok ria saban pagi.Kecuali bila mungkin ia sedang tak enak badan, dia izin sakit.
Jago ini ibarat komandan yang berteriak memimpin prajuritnya.
Ketika pagi merangkak menuju siang maka inilah saat yang terkadang aku benci sekaligus aku suka. Tetapi jengkel inilah yang lebih memenuhi. Di jam-jam seperti ini sedang ramai-ramainya dentuman speaker aktif dari tetangga. Hampir satu komplek perumahan ini seakan bersahut-sahutan, besar-besaran atau mungkin sangar-sangaran dalam memperdengarkan getaran speaker aktif mereka. "apa mereka nggak tau kalau mereka punya tetangga?" pikirku. Pendek kata, aku lebih sering terganggu daripada terhibur dengan situasi seperti ini. Di saat siang yang terik ketika tubuh merengek minta beristirahat siang, betapa jengkelnya betapa dongkolnya mendapati komplek yang ramai nyaris seperti pasar kaget ini. "panas-panas begini masih sempat menyalakan musik keras-keras, gaya hidup darimana ini?" gumam dalam kedongkolanku.
Oke, kalau alasan untuk menghibur diri sih ini sah-sah saja. Tapi, kalau hal untuk menghibur diri sampai mengganggu kenyamanan orang lain seperti ini, wah ini egois namanya.
Barangkali ini adalah gambaran kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini yang sudah mulai luntur budaya tenggang rasanya.
Lantas apa hubungannya dengan judul tulisan ini? jawabnya, akupun tidak tahu.
(Puja K.)
Dibaca: 1139