[Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #4 /habis)
Kalimat adzan terakhir mengantarkanku pulang bersama petang. Tiba di rumah. Oo, ternyata resahku tadi juga ikut pulang. Bayang wajahmu mengiring di sampingnya. Mengikuti aku yang masih tak mengerti harus bagaimana.
Ingin aku menggebuknya dengan sapu. Tapi, aku pasti akan terlihat semakin goblog saja. Maka tak jadi. Karena kalaupun sudah kugebuk dengan sapu, dan ternyata bayangmu belum tentu pergi juga, aku pasti akan semakin jengkel saja.
Bayangmu memenuhi pikiranku..
Tak tegar berdiriku..
Tak tentu langkahku..
Tak terang pandang mataku..
Tak jernih otakku..
Tak tenang hatiku..
Kamu..
Kamu..
Dan kamu..
Bagaimana cara mengusirmu...
Air wudhu aku basuhkan. Sejuknya merasuk sampai ke tulang. Kewajiban maghrib aku tunaikan. Damainya tak tergambarkan. Kalam Tuhan aku lafalkan. Dalam maknanya menenangkan. Aral-- soal-- keluh-kesah aku sodorkan. Resah isi hati aku curahkan. Doa-doa aku panjatkan. Tak diminta air mata berjatuhan. Butiran demi butiran. Dalam sepi. Dalam sunyi. Terisak sendiri. Sendiri. Sendiri..
Wahai Tuhan.. rasa apa ini gerangan..
Beri hamba penerangan..
Wajahnya indah berseri
Menggetarkan dalam hati
Getar ini yang tak kumengerti
Wahai Tuhan.. rasa apa ini gerangan..
Indahnya mengingatkanku
Mengingatkan akan indah-Mu
Wahai Tuhan.. rasa apa ini gerangan
Rasa yang tak terperikan
Congkak-kah hamba demikian
Kalau iya, tolong redakan..
Kepada-Mu aku kembali
Wahai Tuhan, rasa apa ini gerangan
Kepadamu, wahai anak manusia yang telah membuatku jatuh hati, andai kau tahu betapa akupun tak ingin begini. Tepatnya belum ingin. Tapi betapa akupun tak berdaya. Ternyata kau pun mesti menghitung bahwa aku juga lelaki. Lelaki biasa saja. Lelaki yang mendadak kikuk di hadapan makhluk seindah kamu. Yang mendadak berubah jadi tak mengerti.
Betapa kejamnya cinta itu terkadang. Ia sanggup membuat si korban sedemikian memikirkan orang yang bahkan sedetikpun belum tentu memikirkannya. Membuat pikiran mendadak melayang entah kemana.
Ingin aku kau tahu. Ingin aku kau mengerti. Mengerti resah ini. Getar ini.
Tapi akupun tak tahu dimana engkau meletakkan aku di hatimu. Jangan-jangan memang tak kau letakkan. Aku tak tahu apa arti diriku bagimu. Jangan-jangan memang tak berarti. Ya, aku tak tahu. Yang aku tahu hanya setiap kali melihatmu, hati ini tak bisa untuk tidak bergetar. Untuk saat ini. Entah esok hari. Entah lusa nanti. Entah..
Maka atas ketidaktahuan ini, ijinkan aku menjauh dari keindahanmu. Maka biarlah aku bersembunyi dari semua ini. Maka aku mohon kau mengerti. Demi semua ini. Aku ingin menepi. Betapapun sesekali melihat dari luar lingkaran adalah tak salah. Aku ingin meneropong seluruhnya. Sejauh apa rasa ini merasuki. Dan jika menepi adalah tenteram, maka betapa tepian ini adalah sangat nyaman. Jauh dari hiruk-pikuk. Sambil menawarkan rasa hati. Sampai nanti. Sampai semoga musim tolol ini segera pergi.
Berlatar sajadah, perih hati kulontarkan. Dengan gemetar. Dengan gamang menyelimuti. Hingga tangis mengantarkan aku dalam kelelahan. Terkulai lemas bagai selembar kain sarung.
Adzan isya tegaskan malam. Anak-anak surau riuh mencuri-curi pulang. Di luar jendela gerimis yang reda. Bulan menyembulkan cahaya. Temani malam bintang serta.
Wahai kau anak manusia, maafkan aku jatuh cinta.
Pekanbaru, Sabtu 03 Desember 2011 by Puja K.
Sebelumnya: Elegi Cinta Kolot (Seri: #3)
Dibaca: 1486