Teya Salat


[Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #2)

Cover

Matahari sore kini tersisa sedikit, belum karena terbenam, melainkan diapit awan buram. Senja kian pekat. Sekelompok burung punai terbang pulang ke sarang. Aku masih diam termenung seperti patung mati. Badan diam tapi sejatinya di dalam meronta hebat.

"Aku tak ingin jatuh cinta."

"Lagi, aku tak ingin jatuh cinta."

"Tapi lagi, siapa bisa mencegah?"

Sebelumnya aku tak pernah benar-benar percaya ketika membaca kisah-kisah cinta yang mengatakan bahwa saat seseorang jatuh cinta maka segalanya jadi tak biasa. Yang papa serasa begitu kaya. Yang miskin potongan jadi demikian rupawan. Sebentar. Disini aku ingin menyelidik. Jika ada kata rupawan maka mestinya ada rupawati bukan? Tapi sudahlah. Lanjut; Yang di dunia serasa di sorga. Kuli serasa raja. Naik sepeda, asalkan berdua maka seakan berubah jadi kereta kencana. Bahkan yang ekstrim; Jatuh cinta, tahi kucing rasa coklat [!] Dimanapun, kapanpun wajah sang dambaan hati selalu muncul. Selalu saja nimbrung di dalam mimpi. Mengisi seluruh lorong sanubari. Bah, gombaaal!

Bahwa aku tak pernah mempercayai konsep cinta tadi adalah benar. Tapi betapa kini aku terpaksa harus mempercayainya adalah juga benar. Semua yang aku katakan sebagai gombal tadi, kini malah seperti hendak menyerangku habis-habisan. Aku bisa saja mengatakan jatuh cinta itu tolol. Fatamorgana. Tapi begitu mengalaminya, betapa tolol itu juga nyata menjangkitiku.

Lihat, Kau yang sejatinya jelas bukan wanita tercantik di dunia ini, tapi di hatiku tak ada duanya. Seluruhnya yang ada unsur kamu di dalamnya, akan menjadi sangat menarik bagiku. Kalau ada yang mengatakan tentang kekuranganmu, akulah orang pertama yang tidak akan mempercayainya.

Tak aku lakukan sesuatupun tanpa wajahmu muncul di benakku. Saat naik sepeda motor, aku sanggup terus membayangkanmu. Wajahmu seperti menghampar di langit sepanjang jalan. Sambil cengar-cengir, sambil lupa betapa bahan bakarnya habis dan terpaksa ganti aku yang mendorong motor. Menjelang tidur, potretmu bagai terpampang di langit-langit kamar. Menggusur seluruh jaring laba-laba yang ngawur saja memasangnya disana. Dalam tidur, engkau masih setia mampir di mimpiku. Menebarkan senyum terindahmu. Yang ini, kerap membuatku menyesal saat bangun, betapa mimpi itu sebentar saja terasa. Sambil menyesal bangun, sambil tak peduli bahwa aku sudah jauh kesiangan. Saat makan, ah, ragu aku mengucapkannya, sulit aku mengatakan betapa bayang wajahmu juga suka muncul di mangkok sup! Menjadi background diantara butiran minyak dan bawang goreng yang mengapung indah. Wahaii!

Perhatikan. Bukankah itu gombal seluruhnya? Tapi itu nyata. Nyata tapi gombal!

Ini tak boleh diteruskan. Aku bisa jadi semakin gila. Maka seperti mula kukatakan, aku harus menepisnya. Apalagi melihat situasi yang serba sulit. Harus nekat kutepis.

Dan menahan rasa yang seperti itu ternyata cuma merusak pikiran saja. Resah. Gelisah. Menghabiskan energi. Semuanya jadi serba salah. Ingin tapi tidak ingin. Tidak ingin tapi ingin. Entah jenis ketololan yang bagaimana lagi ini.

Bahwa kemudian aku bisa menjadi begini linglung setengah mati adalah sesuatu yang luput dari hitunganku. Linglung karena betapa semua itu selanjutnya cuma menyumbangkan perang argumen di pikiranku.

Sisi ini berkata, bahwa kalau aku mencintaimu maka ini berarti aku mesti berlaku yang terbaik untukmu. Tak pandang hendak kau beri senyum ataukah cibir. Disambut ataukah tidak. Benar-benar tak peduli. Seperti hujan yang akan turun, ia akan tetap turun meskipun sejuta orang mengutuknya. Ia juga tak akan bangga tinggi kalau memang ada yang memuji. Ia akan tetap jatuh, tetap membasahi tanah. Dipedulikan ataupun tidak. Mau banjir atau tidak. Yang ia tahu sekadar menjalankan tugasnya; hujan.

"Tapi, Apa yang bisa kau beri? Kau belum bisa apa-apa.." kata sisi sana. Cuma bisa aku jawab dengan diam. Diam yang sepenuhnya tak mengerti.

Aku sendiri tak habis pikir. Aku malah seperti ABG yang sedang kebingungan mencari arti. Padahal, aku tak lagi ABG.

Tanya disana dijawab dengan tanya lagi disana-sini. Jadilah benakku kembali seperti sebuah forum debat kusir. Gemuruh di setiap sisi. Ramai disana. Heboh disini;

"Sudahlah. Cinta itu tak mesti memiliki. Apalagi soalmu yang begini ribet. Kau sudah benar; pikirkan baik-baik. Kalau kau sampai mengungkapkannya, dan pada akhirnya cuma hendak terputus di tengah jalan, pasti kalian malah akan sangat mungkin berbalik jadi saling benci. Ingat, sekat antara cinta dan benci itu tebalnya sekadar kulit bawang saja." Kata sudut ini.

"Ya, benar. Kau memang jatuh cinta. Itu indah. Tapi kau malah bingung sendiri. Kalau kau takut cuma akan menyakitinya nanti, sayangi saja ia sebagai sahabat. Persahabatan itu lebih baik."

"Orang itu kadang-kadang baik karena tidak berbuat. Tapi ketika sudah berbuat menjadi tidak baik lagi. Tergantung yang melihat. Ambil contoh seorang pemimpin. Saat belum naik, bisa jadi ia disukai karena dikenal baik dan berkualitas. Tapi begitu menjabat, sehebat apapun sebelumnya, kalau ada sedikit saja kesalahan dalam pimpinannya, ia akan segera dihujat. Maukah kau dihujat kalau ternyata kau tak sebaik kelihatannya di mata bidadarimu itu? Camkan baik-baik." Timpal sudut yang itu.

"Hey, hey.. Cinta itu anugerah. Ketika kau mendapatinya, segeralah. Tak usah kau pendam. Tapi apa yang kau lakukan? Kau terlalu banyak berpikir! Boleh saja kau takut kalau-kalau cuma akan menyakitinya nanti dan karenanyalah lalu kau lebih memilih diam sebagai sahabat. Ketakutan itu wajar saja muncul."

"Tapi pasti kau bohong! Kau pasti akan merasa kehilangan, sakit hati dan sengsara sekali saat kemudian ia berlalu dengan orang lain. Padahal kau sangat menginginkannya. Luka hati, pasti. Kau akan sulit tersenyum. Kalaulah tersenyum, itu pasti sekadar senyum yang terpaksa, senyum yang nekat. Karena sejatinya, kau tak pernah merelakannya. Nyatakan sebelum ia berlalu dengan yang lain. Tak percaya? Lihat saja, dia itu indah sekali. Lelaki mana yang begitu goblog membuang cintanya begitu saja." Kata sudut yang lainnya.

Bintang seperti berputar-putar di atas kepala demi menyimak ramai perdebatan batinku sendiri.

"Cinta memang membingungkan.." bisik hatiku dengan kesadaran yang nyaris rontok seluruhnya.

Pikiranku jadi nyaris seperti kadal karet yang tengah diperebutkan dua ekor kucing. Dibetot kesana-kemari. Digigit pada kedua sisi, ditarik hingga molor sedemikian panjang dan aku berada di tengahnya; lemas. Pasrah. Tak mengerti.

Pekanbaru, 19 November 2011 by Puja K.

Menyusul: [Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #3 )

Sebelumnya: [Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #1 )

Dibaca: 1792