[Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #1)

Cover

Senja memerahkan mega. Malam bersiap datang. Meski mentari malas untuk pulang. Seperti malasnya aku pergi dari sini. Dari sisa-sisa hutan yang papa ini.

Bangkai hutan ini terlihat merana sekali dengan sisa-sisa pohonnya yang tumbang. Seperti merananya aku yang kebingungan karena kedatangan rasa yang aneh aku mengiranya. Cinta, begitu orang-orang menyebutnya. Sementara aku, aku tak tahu mesti menyebut rasa ini dengan sebutan apa. Entah rasa ini yang aneh, entah aku yang demikian primitif. Sama tak mengertinya. Bahkan untuk sekadar meraba soal ini saja aku tak tau. Parah sekali. Lalu, bagaimana aku bisa mengungkapkannya padamu, kalau aku sendiri pun tak tahu pasti apa yang aku rasakan.

Tapi taukah kau, mata ini menjadi kerap terlihat nanar. Nanar karena hati yang juga nanar. Gara-gara soal ini, aku sering menjadi bukan aku. Potretmu menyita segenap ruang pikiranku setiap saat. Setiap tempat.

Hadirnya bayangmu ke benakku sejatinya indah saja. Tapi jika hadir itu adalah hadir dari jenisnya yang salah waktu dan salah tempat, ini pasti penyiksaan batin yang sangat berat. Saat seseorang baru hendak berangkat kerja tapi pikirannya sudah lebih dulu sampai di kantor misalnya, ini pasti menyiksa. Semestinya ia bisa santai saja menikmati suasana selama dalam perjalanan. Pun sebaliknya jika badannya sudah di kantor tapi pikirannya cuma habis tertinggal di rumah, ini juga pasti tak nyaman. Pendek kata, bayangmu yang meski indah itu, akan demikian menggangguku kalau ia datang secara sembarangan. Dan sayangnya, memang begitu adanya. Aku tak mampu mengusirnya. Itulah kenapa sekarang aku malah ingin ngawur saja mengatakan: cinta itu terkadang suka sekali sembarangan. Ya waktunya. Ya tempatnya. Ya orangnya.

Aku masih ingin disini. Di onggokan pangkal pohon, sisa hutan yang nestapa. Aku belum ingin beranjak pergi. Toh pergi pun, kemana pun, aku akan tetap diburu oleh bayangmu. "Pernah aku mencoba untuk sembunyi. Namun, senyummu tetap mengikuti." Aku sudah muak begini. Aku tak ingin jatuh cinta. Tapi siapa bisa mencegah? Apa yang salah?

Lama aku berpikir. Kerap aku bertanya pada diri sendiri, Mengapa aku bisa demikian mengagumi dan beranggapan bahwa aku mencintaimu?

Tanya menginginkan jawaban. Jawaban butuh penelusuran. Penelusuran memberitahu akan keindahanmu di mataku. Keindahan menumbuhkan rasa kagum dan suka. Ya, siapa yang tak suka keindahan. Kagum dan suka berujung pada rasa ingin memiliki. Rasa ini yang kemudian ngawur aku daulat sebagai cinta.

Sedari awal aku sudah berniat tak akan memikirkanmu. Apalagi jatuh cinta. Tak pernah. Kalau toh terpana, ini mesti sekadar terpana dari jenisnya yang seluruh lelaki waras juga pasti begitu. Bohong kalau tidak. Ya, rasa ini pasti sekadar angin lalu. Seperti titik-titik air di awan yang kalau tiba saatnya ia pasti akan turun juga ke bumi tanpa memikirkan awan itu lagi.

Sejak aku memiliki fakta baru tentangmu di pikiranku, sejak saat itulah penyakit linglung datang. Linglung yang jarang aku alami. Linglung yang demikian tak aku mengerti.Namun betapa kenyataan ini menakutkanku. Aku jadi berpikir tentang sesuatu yang semula tak pernah terpikir. Aku jadi tergoda akan sesuatu yang semula tak menggodaku. Aku jadi menginginkan sesuatu yang semula tak pernah kuinginkan. Ini pasti cuma akan membuat runyam hidup. Karena jika aku sudah terlanjur tergoda sementara godaan itu cuma pergi begitu saja meninggalkan aku yang kecewa, betapa ngeri hidup yang semacam itu.

Maka bayangmu pasti cuma akan menjadi sumber musibah bagiku. Kalau aku jadi demikian linglung, pasti ini justru karena kedatanganmu. Maka tak akan kubiarkan bayangmu datang kalau cuma akan mengganggu kewarasanku. Bersit hatiku marah. Marah yang sepenuhnya ngawur.

Tapi betapa rasa yang aku remehkan tadi ternyata tak sesederhana itu. Ternyata aku tak terlalu sanggup terpapar keindahanmu. Kini ia telah berkembang terlalu jauh tanpa aku bisa mencegahnya. Mati-matian aku menipu diri. Semakin ia kuanggap tak ada, semakin ia muncul. Semakin ia kuanggap biasa saja, semakin ia menunjukkan keluarbiasaan-nya.

Titik air berkumpul. Hujan telah turun. Hujan lalu menggenang. Genangan menjadi banjir. Banjir kini menjadi air Bah! Dan aku sedang nekat berdiri menahannya.

Langit sore bertambah suram. Jingga matahari mulai terlihat benjol. Nyanyian burung-burung malam mulai ramai. Segerombol jalak hitam sudah lama pulang. Aku mencoba tenang. Menikmati remah-remah hari. Meski dalam hati belum bisa mengerti.

Oh Tuhan, beri setetes ketentraman, Doaku di hati.

Pekanbaru, 12 November 2011 by Puja K.

Selanjutnya: [Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #2 )

Dibaca: 2474




Snack's 1967