Aku, Secangkir Kopi dan Semut
Ada gula ada semut. Benar. Ada kopi banyak semut. Ini juga benar. Setidaknya bagiku. Akhir-akhir ini aku sering ngopi (tanpa paste). Belajar sambil ditemani secangkir kopi lebih mantap. Sambil belajar, aku bisa sambil ngopi. Dan kalau ngopi, aku tidak tidur. Aku tak mau membayangkan bagaimana caranya sambil tidur sekaligus sambil ngopi.
Aktivitas ngopi ini memang asyik tapi pada akhirnya tak jarang malah menjengkelkanku. Betapa tidak merana kalau baru setengah cangkir kopi kunikmati, tapi kopi buatanku sendiri itu sudah ramai dikerumuni semut. Bagaimana tidak terpana jika secangkir kopi yang dibuat dengan kasih sayang, dengan berhati-hati, ditimang-timang, sambil bersiul damai penuh kesungguhan membayangkan kenikmatannya namun baru dikecup dan ditinggal lengah sedetik langsung habis diperkosa oleh satu batalyon semut. Wahai, ingin rasanya kutuntut mereka semut sialan pasal penjarahan wedang kopiku. Kudapati serbuan serdadu semut ini memang belum berlangsung lama. Entah kapan mereka resmi pindah ke kamarku. Yang pasti setiap kali ada yang manis-manis mereka selalu hadir meski tak pegang undangan.
Belakangan saat aku ngopi lagi, kuperhatikan mula-mula yang datang memang cuma seekor semut saja. Aku kira begitu tahu ada makanan, semut satu ini segera mengirim SMS pada rekan-rekannya. Semut pertama itu serupa tugasnya dengan mata-mata. Itulah kenapa sesaat berikutnya datang ber-kompi-kompi rombongan semut dengan raut suka-cita. Cara mereka berjalan teratur. Tidak rebutan. Sabar antre dan hasil kerjasama ini ternyata sangat dahsyat sekali. Tidak terjadi kemacetan hingga dalam waktu singkat mereka sudah sukses memadati area cangkir kopiku.
Kutatap cangkir kopi itu. Lama sekali. Sebuah tatapan kecewa. "Mereka tanpa perintahku sudah berani menjamah minuman itu.." pikirku. Teguk demi teguk mereka adalah sakit hatiku. Goyangan sungut antena tanda gembira mereka adalah pentungan sebesar tiang listrik memukul-mukul hatiku ganas. "STOP ! Hentikan. Ini tak bisa direlakan. Aku yang membuatnya, kenapa jadi mereka yang minum?" Kuraih sendok. Kupukul cangkir pelan. Agak keras. Keras. Dasar semut brengsek, mereka bukan serta merta menyingkir. Semut pengecut memang menyingkir. Semut bingung mondar-mandir. Semut berjiwa teguh tetap diam. Semut pemberani melotot. Dan semut tolol lupa tak berpegangan terjungkal dalam kopi.
Usahaku mengusir semut memang berhasil. Tapi keberhasilan ini meninggalkan masalah baru. Sekarang bukan cuma masalah semut di sekitar cangkir, lebih dari itu ia sudah lancang mandi dalam kopi. Semut-semut yang tercebur dan mengambang di permukaan kopi itu menghadirkan pemandangan yang tak ada bagusnya samasekali. Pemandangan yang mengabarkan acara minum kopi harus segera kuakhiri. Kopi itu harus dibuang. Tapi rasanya sayang sekali. Ia baru setengah yang kuminum. Aku juga belum puas. Selanjutnya aku berpikir keras, kopi itu tak perlu kubuang. Yang harus kubuang adalah rasa jijikku terhadap semut itu.
Otakku kuaduk cepat. Bagaimana caranya agar kopi yang masih setengah itu tetap bisa kuminum. Menyingkirkan semut dengan sendok? Ah, ini terlalu ruwet dan menjengkelkan. Semut itu terlalu banyak. Kuaduk benak sekali lagi. Dapat. Kusambar sedotan plastik. Kusedot kopi itu. Agak dalam menghindari semut kalau-kalau ikut tersedot. Bah !! Kenapa yang kena ampasnya?! Sialan. Persis. Ya, persis dengan PT. Lapindo yang bermaksud menyedot minyak tapi sial yang keluar malah lumpur. Hanya saja, kalau lumpur Lapindo itu telah mampu mengubur 800-an hektare pemukiman warga yang hingga 5 tahun ini belum jelas juntrungan ganti ruginya, maka kasus ampas kopiku ini cuma cukup membuatku tersedak dan terbatuk-batuk untuk kemudian mengutuk.
Aku menyerah. Aku kalah. Sambil menahan getir ampas kopi di tenggorokan, sambil kupandangi kopiku dirampas pasukan semut keduakalinya. Semut-semut menang. Semut-semut sukses mempecundangiku. Semut-semut bersorak. Satu semut menoleh padaku. Ia tersenyum. Oh, bukan. Ia mencibir sambil mengacungkan jari tengahnya untukku.
Pekanbaru, 28 June 2011 by Puja K.
Dibaca: 1769