<div class="post">

[Merenung Sampai Kapok]- Rindu Kepada Sarung

Cover

Rindu bisa datang kapan ia suka. Dan pergi kalau perlu. Tak terang aku mengerti soal rindu. Yang jelas di dalamnya ada rasa butuh dekat kepada yang dirindukan. Tak peduli apakah objek yang menjadi sumber rindu tadi benar-benar bisa datang atau tidak, rindu akan tetap hadir. Tak peduli apakah yang dirindukan juga balik merindukan, ia tetap sanggup menjejal di hati. Tak pandang apakah patut dirindukan atau tidak, ia akan tetap dipatut-patutkan. Dan kehadiran rindu biasa diiringi oleh perasaan bahwa yang dirindukan adalah sangat berharga.

Suatu waktu ada kegiatan yang mengharuskanku untuk tidak pulang. Tidak sangat jauh dari rumah sejatinya. Tetapi butuh untuk menginap barang dua hari.

Tidur di tempat penginapan ini sejatinya tak kurang nyaman. Pendingin ruangan siap sedia. Kasur empuk dan dobel pula. Pengharum ruangan selalu semerbak. Lengkap. Tak seperti kamarku yang lebih mirip kapal remuk.

Disini mestinya aku bisa nyenyak saja untuk tidur. Tapi betapa nyenyak tadi harus gagal datang cuma karena satu hal. Tak ada kain sarung!

Oo, kain sarungku yang kumal. Tak pernah kuhitung bahwa ketidakhadirannya akan sedemikian merusak acara tidur. Tak pernah kubayangkan kalau tanpanya aku akan begini susah tidur.

Sarung yang meskipun kumal itu memang sekadar sarung biasa saja. Kotak-kotak motifnya. Kusut rupanya. Rendah kastanya. Tak punya bakat untuk dikatakan bagus. Kalau sedang nampang di jemuran, biar sampai seminggu pun tak akan ada yang berselera untuk menyambarnya.

Tapi apapun itu bentuknya, sarung itu tanpa sengaja telah menjelma menjadi begitu akrab denganku. Ia tengah menjadi salah satu keluarga di kamarku. Tak banyak yang aku sukai dari benda ini. Tapi entah mengapa tidur tanpanya adalah berarti musibah. Peribahasa mengatakan; ibarat sayur tanpa garam. Ya, sayur yang tanpa garam bagiku tengah berubah menjadi seperti tidur yang tanpa sarung.

Selimut sarung memang tak banyak artinya. Tapi bagiku telah menjadi begitu mengasyikkan. Sarung menyodorkan berbagai keunikan. Ditarik ke atas, bawah terbuka. Ditarik ke bawah, atas kelihatan. Dan akhirnya memaksa si pemakai untuk memperagakan badannya sedemikian rupa menyesuaikan dengan panjang kain sarung yang serba cekak itu. Posisi tidur begini menyuguhkan pemandangan gaya tidur yang unik lagi; Melengkung dalam sarung. Gaya tidur yang kampungan sekali. Kampungan yang asyik sekali.

Naif benar. Sarung yang kumal itu baru terasa sangat berharga saat aku benar-benar jauh darinya. Saat aku benar-benar merasa kedinginan. Saat aku telah benar-benar kelimpungan. Oo, jangan-jangan naif ini juga berlaku kepada soal lain.

Kepada keluarga, kita baru merasa rindu ketika benar-benar telah jauh. Kita sering baru bisa memandang desa kita yang udik berubah menjadi sangat damai seperti sorga saat kita telah benar-benar pergi darinya. Kepada sahabat, baru benar-benar ingat ketika kita sedang membutuhkannya. Kepada tukang tambal ban, kita baru benar-benar bisa menghargai ketika ban kita yang bocor ditambal olehnya. Kepada recehan, baru sudi memperhatikan ketika kita sudah benar-benar kekurangan uang. Majikan baru benar-benar merasa kehilangan dan melihat pembantu rumah tangga sebagai yang berharga dan berjasa setelah ia benar-benar pulang kampung.

Pendek kata, kepada apa saja, kepada siapa saja, kita bisa tega memandangnya sebagai remeh-temeh cuma karena kita belum benar-benar merasakan bantuan mereka secara nyata. Padahal sama-sekali tak ada pihak yang mau ditempatkan sebagai si remeh. Padahal hampir seluruh yang diremehkan pasti akan sepantasnya melempar kutukan kepada yang meremehkan.

Maka jika pihak yang pernah kita remehkan sekalipun ternyata masih sudi memberikan kebaikan kepada kita saat membutuhkannya, betapa itu adalah anugerah bagi kita. Anugerah karena kepada yang telah kita remehkan, sejatinya tak ada lagi harapan bagi kita selain kutukan.

Maka jika seluruh yang kita remehkan tadi benar-benar jadi melempar kutukannya, betapa ngeri, betapa seramnya. Karena terlalu banyak pihak yang mudah sekali teranggap remeh, maka banyak pula poin-poin kutukan yang mesti kita terima. Lalu, sanggupkah kita menerima kutukan-kutukan itu.. Bergidik aku membayangkannya.

Maka betapa ingin kutatap lama-lama dengan tatapan berharga, kupeluk dan kuciumi sarungku itu. Sarung itu, betapapun kusutnya semoga tak melempar kutukan untukku.

Pekanbaru, Selasa 06 Desember 2011 by Puja K.

catatan lainnya: Elegi Cinta Kolot (Seri: #4)

Dibaca: 1540




Lamborghini Huracán LP 610-4 t