Snack's 1967

[Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #3)

Cover

Kucoba membangun kesadaranku lagi. Merenung lagi. "“Aku berpikir, maka aku ada.”" Kata Descartes yang seorang filsuf. " “Aku merenung, maka aku ada."” Kata Descartes Kepleset yang kukenali sebagai diriku. Menelaah lagi, mengkaji lagi, membantah lagi, lagi, lagi, untuk soal yang ribet lagi, cinta lagi.

Lagi, aku merasa bahwa semua ketidakbiasaan ini mesti segera kuakhiri. Untuknya, aku kumpulkan berbagai bantahan, ejekan, keburukan, kekurangan dan semua kebrengsekan tentang jatuh cinta. Alasannya sedikit saja; agar aku bisa berhenti jatuh cinta kepadamu. Karena betapapun indahnya itu jatuh cinta, kalau ia datang di setting yang begini ribet, pastilah jatuh cinta ini sekadar berupa ejekan. Maka kalau ia datang cuma hendak mengejekku, pastilah ini sejatinya bencana. Maka berarti jatuh cintaku ini pasti jatuh cinta dari bangsanya yang tidak bermutu. Jatuh cinta kepada bencana!

“"Jatuh cinta itu fatamorgana.”" kubaca dari sebuah buku kemarin. Jatuh cinta tak mengijinkan si korban melihat kekurangan si pujaan. Ia terlihat sempurna, se-sempurna-sempurnanya. Jatuh cinta membuat semuanya yang maya terasa menjadi nyata. Membuat melayang orang yang merasakannya. Membuat mabuk pihak yang diserangnya. Membuat tak sadar meski juga tak pingsan.

Ikatan suci-lah yang bertugas menyadarkannya. Menyadarkan betapa kita sejatinya tak pernah terbang, tak pernah melayang kemana-mana. Kita toh tetap disini saja. Tetap begini saja.

Di dalamnya kita baru benar-benar disodorkan kenyataan yang sebenarnya. Membuat kita harus melihat dia yang dulu begitu cakepnya, betapa wanginya, di kini ternyata ketika buang angin juga bisa betapa baunya. Melihat ia yang dahulu betapa lemah lembut, manja, tapi kini juga tak jarang nyolotnya. Harus hidup bersama, harus tidur bersama, harus mengerti kalau ia ternyata juga bisa mendengkur, harus melihat ketika ia baru bangun dari tidur, betapa jelek dan brengseknya.

“"Maka jatuh cintaku ini pasti penipuan!"” seruku dalam hati kesetanan.

“"Fatamorgana!"” kesetanan lagi.

“"Kiamaat!"” lagi.

Aku terhenyak. Menahan gemuruh dada. Menahan kemarahan yang entah apa jenisnya. Tak peduli entah marah yang bermutu atau tidak. Untuk kemudian mereda sendiri. Tenang. Pelan. Datar.

Aku merenung lagi. Merumus lagi. Semakin nyata bahwa ini rasa brengsek harus cepat kubunuh. Harus! Caranya? Apa saja. Segala cara.

Ini pasti akan begitu berat karena meski tanpa melihat, aku sudah kepalang terbiasa mengerti dengan sendirinya kemana kemana geraknya, sudah hafal seluruh indera ini akannya. Tapi ini harus kulakukan. Aku harus melupakannya. Harus tak lagi mencuri-curi pandang padanya. Harus tak boleh menghampirinya. Harus sebisa mungkin terhindar dari paparan keindahannya. Menghindar dari tabrakan matanya. Semuanyaa! Sampai musim gila ini berlalu pergi.

Oo, bukankah ini semuanya sudah kulakukan sedari jauh hari kemarin? Tapi ya ampun. Hati ini selalu tak bisa untuk tak berdesir tiap kali mata kita tak sengaja beradu tatap. Tatapan itu sebentar saja. Desirnya di dalam yang lama. Sialan!

Tanpa terasa matahari kini tinggal sedikit saja. Bukan lagi karena awan. Benar-benar karena tenggelam. Menyembulkan sedikit kepalanya. Mengucapkan sampai jumpa pada bumi belahan sini. Dan akhirnya benar-benar ia pergi. Mega-mega menyemburat warna emas. Menjadi jingga. Menjadi warna neraka.

Berkompi-kompi kelelawar berangkat mengembara. Menyisir langit. Menjilat kabut asap.

Sayup-sayup adzan maghrib mulai dilantunkan. Sahut-menyahut dari speaker satu ke yang lainnya. Memberikan suaranya yang aneka ragam sebagai pelantunnya pun aneka ragam. Ada yang merdu, menghadirkan kedamaian. Syahdu, menciptakan kesejukan. Sisanya, suara yang payah. Kalau tak mau kubilang brengsek.

Habis sudah jatahku merenung sore ini. Di sini. Di sisa hutan kasihan ini. Kalau saja ada air untuk berwudhu di sekitar sini, aku ingin nekat saja untuk tak pulang. Tak peduli bahwa katanya disini banyak ular besar, genderuwo, kelong wewe, hantu belau.... ah, persetan dengan setan! Tapi pasti aku sedang bohong. Aku pasti tak akan berani. Tak berani membayangkan betapa tidak enaknya sambil merenung, sekaligus sambil dikeroyok nyamuk.

Aku pulang. Berharap resah hati dapat kutinggalkan disini. Pada anak-anak kayu. Pada akar-akar mati. Pada belukar bisu. Pada ilalang. Pada lebah kecil yang berkumpul di sarang. Aku ingin pulang. Aku ingin tenang.

Pekanbaru, Rabu 23 November 2011 by Puja K.

Menyusul: [Merenung Sampai Kapok]- Elegi Cinta Kolot (Seri: #4 /habis )

Sebelumnya: Elegi Cinta Kolot (Seri: #2)

Dibaca: 3015